Melanjutkan twit saya kemarin :
Sebenarnya twit tersebut adalah inti dari ide postingan yang ingin saya sampaikan sekarang.
Ya Memang,
Sabar dan ikhlas termasuk pelajaran hidup. Dan selayaknya
mempelajari sebuah ilmu, ia pasti akan terasa berat di saat-saat pertama. Dan
akan semakin berat pada tahapan selanjutnya. Butuh perjuangan tentu. Jatuh
bangun, tangis dan air mata, depresi, stres dsb. Namun lambat laun akan terasa
mudah. Mungkin, sebagian yang gagal akan terus berada pada kondisi depresi,
stres bahkan gangguan jiwa. Namun mereka yang berhasil akan merasakan manisnya
nikmat dari buah keikhlasan, yaitu kebahagiaan, yang berhasil ikhlas akan tetap
tersenyum bahagia.
Ikhlas, mudah diucapkan namun tidak mudah untuk direalisasikan. Saya beri sebuah contoh :
Fatih adalah seorang Sarjana Kedokteran yang baru lulus satu bulan lalu. Sekarang seperti teman-temannya yang lain, ia tengah menjalani koas di RSUD Depok. Kisah cintanya berawal dari sini, cinta yang bahkan tak terucap. Hampir setiap hari, semasa koas, mereka selalu bersama. Anissa, seorang gadis sholehah yang satu kelompok koas dengannya. Cinta lokasi, hal yang biasa. Tapi ia merasa sudah sangat terjatuh, begita dalam. Bahkan, dalam diam, hampir setiap malam ia selalu "memantau" akun fb nisa. Begitu pula twitter nya. Hanya ingin tahu, tak lebih. Itu yang tersirat di benaknya. Satu hari saja tak membuka akun akun tersebut, bagaikan dipenjara baginya.
Hingga, Allah SWT menentukan jalan lain. Beberapa bulan setelah masa koas dimulai, Nisa dipinang oleh kakak tingkatnya. Tragis, sangat tragis bagi Fatih. Cinta yang tak pernah terucap itu, kini harus ia kubur, ia benam, ia hancurkan. Tak ada lagi kesempatan untuk mengucapkannya, satu kali pun tidak. Sabar, ikhlas, itulah yang harus ia lakukan. Sayang, meski waktu telah berlalu dan kenyataan sudah didepan mata, namun ia tak mampu menerima. Sudah satu bulan semenjak pernikahan Nisa, hingga saat ini pun, setiap malam, ia masih terus rajin membuka akun fb nisa.
Ia tak tahu kenapa. Hampir setiap malam pula air matanya mengalir tatkala melihat foto-foto pernikahan Nisa. Kisah terus berlanjut. Bahkan beberapa sahabat terdekat sudah menasehatinya ketika ia curhat, namun nihil hasilnya. Bukan logikanya yang berkeinginan. Tapi entah kenapa pikirannya terus berada pada penyesalan. "Seandainya dulu aku ucapkan", selalu itu yang terbersit dan selalu diselingi air mata yang keluar tanpa kehendaknya.
Fatih, seseorang yang saya gambarkan berjuang untuk ikhlas. Bukan kehendaknya. Ia berkeinginan sangat keras untuk bisa ikhlas, namun hatinya terus membantah. Penyesalannya tak tertarbayar, tak akan pernah. Satu-satunya jalan adalah ikhlas. Dan ia harus memaksakan diri. Meski cuma kisah khayalan yang saya buat, namun tentu saya ingin berbagi sedikit ilmu, berikut kelanjutannya :
Empat puluh hari sudah semenjak pernikahan Nisa berlangsung. Kini ia masih dirundung penyesalan yang konyol. Waktunya habis untuk menyesali kenapa dulu tidak ia ucapkan. Pikirannya pun tak fokus. Setiap membuka situs jejaring sosial, selalu ia "mampir" di akun Nisa dan selalu tak lepas dari air mata, setiap malam, setiap hari. Hingga ia depresi. Kewajiban apapun ia jalani setengah-setengah karena kehilangan gairah hidup. Hingga suatu hari, ia bertekad berubah. Inilah titik perubahan.
Ia ambil secarik kertas putih. Dikertas itu ia tulis,
Saya, Muhammad Fatih berjanji,
tidak akan membuka akun fb dan twitter Nisa hingga satu minggu dari sekarang. Jika melanggar, maka saya akan berdosa, push up 100x dan lari keliling UI 5x. Jika saya berhasil, maka hadiahnya adalah sebuah Toblerone ukuran besar plus Pizza ukuran sedang.
Depok, 5 Desember 2012
Ttd
Muhammad Fatih
Seminggu kemudian, ia berhasill menepati janjinya. Ia rayakan kemenangannya dengan Toblerone dan Pizza. Ia bahagia, bahkan ia perpanjang janjinya untuk sebulan kedepan meskipun saat ini ia sudah bebas dari pikiran tentang Nisa. Tidak lagi menghabiskan waktu untuk "mantengin" TL dan akun fb nya.
Begitulah kisah Fatih. Ia tahu ia suka coklat. Yang ia lakukan ialah, memaksa dirinya untuk melupakan Nisa. Memaksa dirinya untuk bisa ikhlas. Inilah yang ingin saya sampaikan, bahwa untuk bisa ikhlas, untuk belajar agar bisa ikhlas, terkadang butuh sedikit paksaan.
Agak aneh memang. Ketika kita berbicara tentang ikhlas, yang artinya tanpa paksaan, justru kita berjuang ikhlas dengan sebuah paksaan. Inilah yang namanya proses belajar. Sepertinya halnya belajar sholat dan mengaji waktu kita SD dulu. Kita tahu, sejatinya ibadah harus dilakukan dengan ikhlas. Namun, Rasulullah bahkan memerintahkan orang tua kita untuk memukul kita ketika kita sudah berumur tujuh tahun dan tidak mau disuruh sholat.
Seperti halnya Fatih, sudah menjadi kewajibannya untuk melupakan "istri orang", ia mau, ia ingin, tapi hatinya sulit dilawan. Akhirnya ia lawan dengan paksaan. Karena ini adalah kondisi dimana ia harus bisa ikhlas.
Contoh yang agak galau memang. Tapi tak apalah, saya belum terpikirkan contoh yang lain, hehe. Semoga bisa diambil manfaatnya.