Senin, 05 November 2012

Kisah empat bersaudara yang terpisah


Tak terasa tiga tahun lebih saya sudah mengarungi pendidikan di kampus ini. Hanya tinggal dua semester lagi yang harus saya selesaikan termasuk semester ini, insyaAllah. Semua perjuangan saya di kampus ini bisa dikatakan berawal dari negeri minangkabau, kota pantai, Padang. Kala itu saya sedang dalam proses mengikuti bimbingan belajar dan tinggal bersama kakek dan nenek di sebuah rumah bedeng sempit yang juga panas. Tidak ada rasa suntuk ataupun bosan, malah sebaliknya, saya sangat nyaman berada disana. Rumah sempit itu telah melahirkan sarjana-sarjana sukses sejak tahun 80an. Ibu, Bibi, Uda dan insyaAllah Saya, tahun depan.

Meski sudah tiga tahun berlalu, namun hingga saat ini pun, saya masih ingat persis detik-detik jelang pengumuman UMB pada bulan juni 2009 lalu.




Juni 2009

Matahari mulai tenggelam. Langit pun mulai gelap. Kala itu menjelang maghrib, tanggal 29 Juni. Saya sedang menunggu pengumuman UMB yang dijadwalkan akan diumumkan melalui internet pada pukul 18.00 WIB. Harap, cemas, dan rasa takut menjadi satu. Detik-detik yang cukup menegangkan bagi saya. Jujur, saat itu saya hanya berharap masuk pada pilihan kedua. "Ilmu Komputer? ah, sepertinya terlalu tinggi", gumam saya dalam hati. Bahkan tahun lalu posisi passing grade-nya berada di nomor dua setelah pendidikan dokter UI. Yang ada dipikiran saya waktu itu, kira-kira teknik elektro atau mesin ya? Hanya dua itu. Sama sekali tidak terlintas prodi ilmu komputer. Namun Alhamdulillah, puji syukur, Allah mengizinkan saya lolos di pilihan pertama di Prodi Ilmu Komputer Universitas Indonesia. Senang, sangat. Bahkan saya seperti anak kecil yang lompat-lompat tatkala melihat pengumuman via browser handphone. Saya langsung dipeluk erat oleh nenek. Alhamdulillah, semua bangga, semua senang.

Juni-Juli 2008

Kita mundur satu tahun. Waktu itu pertengahan tahun 2008. Abang saya yang biasa saya panggil uda, mengikuti bimbingan belajar di tempat yang sama, Nurul Fikri Kota Padang. Di rumah itu pula, ia tinggal bersama kakek dan nenek, berusaha menggapai cita-citanya, menjadi seorang dokter. Ia merupakan tipe orang yang gigih dan bersemangat. Saya sangat mengagumi itu, terutama kedisiplinan dan semangatnya.

Waktu itu, seleksi SNMPTN berlangsung pada 2-3 juli 2008. Namun sayang, saat mengikuti seleksi tersebut, ia dalam keadaan kurang sehat. Saya yakin hal itu akan sangat mempengaruhi konsentrasi ujiannya. Namun alhamdulillah, pada 1 agustus 2008, pengumuman SNMPTN memberi kabar gembira, ia lulus di Pendidikan Dokter Unsyiah, Aceh. 

Sejak kepergiannya, rumah ini berasa agak sepi. Satu pemimpin telah pergi demi masa depannya. Tinggal ayah, ibu, saya dan kedua adik. Kini satu dari empat bersaudara telah berangkat. Namun jiwa kepemimpinannya tak pernah pudar. Bahkan di sana, di negeri rantau, di Fakultas Kedokteran Unsyiah, ia terpilih sebagai Gubernur Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) FK Unsyiah. Setahun kemudian, ia "naik pangkat", berkarir di Pemerintahan Mahasiswa (Pema) Unsyiah – di beberapa perguruan tinggi lain disebut sebagai BEM – sebagai Menteri Sosial Pema Unsyiah. Tidak hanya ia, kami pun turut bangga atas prestasi kepemimpinannya.

Agustus 2009

Tak lama berselang sejak kepergiannya, satu tahun kemudian giliran saya, menuju depok, UI. Di tahun yang sama pula, kabar gembira pun datang. Ayah kami diterima beasiswa S3 di Curtin, Australia. Beliau berangkat ke Australia berbarengan dengan saya berangkat ke Depok.

Rumah ini semakin sepi. Hanya tinggal ibu dan dua anak kecil yang ketiganya sangat saya sayangi. Naufal, adik nomor tiga, kini harus belajar mandiri. Ia menjadi pemimpin di sini. Meski masih SD, kini ia harus pulang pergi sekolah sendirian menggunakan ojek dan angkot. 10 Km, bukan jarak yang dekat.

Februari 2011

Satu tahun berikutnya, giliran ia, Naufal, sang juara menggambar tingkat provinsi yang memenuhi panggilan ilmu, menjajal lika liku pendidikan di dunia baru, Australia. Disana, karya-karyanya lebih dihargai. Kretifitas dan kelihainnya dalam menggambar – yang merupakan kemampuan turunan dari Ayah kami – lebih dihargai ketimbang di sini, Indonesia. Berbagai sertifikat penghargaan dan lomba telah ia juarai.

Kini, dirumah ini, hanya tinggal Ibu dan adik saya yang terakhir, Fauzan. Ia pun harus belajar mandiri, lebih dari sebelumnya. Tidak ada lagi kakak – panggilan Fauzan untuk abangnya, Naufal – yang menemani hari-harinya, dan menemani ia bermain.

Empat bersaudara kini telah berpisah, menggapai cita-cita mereka.

Begitulah hebatnya keluarga ini. Dua orang pujangga ilmu, Ibu dan Ayah, dua orang pahlawan tanpa tanda jasa, pahlawan bagi kami berempat yang sejak kami kecil selalu mendidik dan menanamkan pada diri kami bahwa pendidikan itu penting, ilmu itu penting.

 “Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat” QS : Al-Mujaadilah ayat 11

Menuntut ilmu wajib bagi setiap Muslim.” (HR. Ahmad dengan sanad hasan)

Rindu rasanya keluarga ini bisa berkumpul lagi secara utuh, berbagi pengalaman, bersenda gurau, dan bermain lagi seperti saat kami berempat masih berkumpul. Sejak kepergian Ayah dan Naufal ke Australia, kami tidak pernah berkumpul secara "komplit". Jadwal liburan masing-masing sering berselisih. Kami pun tak ingin mengorbankan pendidikan hanya untuk dapat berkumpul bersama. Tidak. Tidak akan. Itu bukan pendidikan yang ditanamkan di keluarga ini.

Namun tetap saja saya rindu semua bisa berkumpul kembali. Semoga tahun depan bisa tercapai, aamiin. Di saat Ayah telah mendapat gelar doktornya dan disaat saya telah diwisuda, semoga kelak satu keluarga ini bisa berkumpul lagi secara utuh. Aamiin Ya Rabbal'alamin

5 komentar:

  1. aamiin,
    pasti kangen berat sama keluarga di rumah,
    sukses buat semuanya bib

    BalasHapus
  2. Rancak posnyo gan! Nice family :D

    BalasHapus
  3. Tulisannya kemarin belum sempat di edit secara matang. Barusan di cek, ternyata masih berantakan -_____-

    BalasHapus
  4. makasih bib.. banyak pelajaran yg biso diambil,
    terusin yo post2 di blog ni

    BalasHapus